News . 01/09/2020, 09:30 WIB
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang menyunat hukuman eks Bupati Kepualauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip. Putusan tersebut mengurangi masa hukuman Wahyumi yang semula 4,5 tahun menjadi dua tahun penjara.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai putusan itu aneh. Pasalnya, kata dia, hukuman Sri Wahyumi selaku penyelenggara negara menjadi lebih rendah dari perantara suap dalam perkara yang sama yakni Benhur Laleno selama empat tahun penjara.
"Sejak awal yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman selama 4 tahun 6 bulan penjara, tetapi karena putusan PK tersebut malah dikurangi menjadi hanya 2 tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Senin (31/8).
Kendati demikian, kata dia, ICW tak lagi kaget dengan putusan itu. Sebab, menurutnya, ICW telah memandang MA sudah tidak menunjukkan keberpihakan pada agenda pemberantasan korupsi. MA justru terlihat berpihak pada koruptor.
"Tren vonis pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi," kata Kurnia.
Lebih lanjut, Kurnia memandang seharusnya Ketua MA lebih selektif untuk memilih majelis hakim yang akan menyidangkan perkara di tingkat PK. Ia menyarankan sebaiknya hakim yang dikenal kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tak lagi dilibatkan.
Ia menambahkan, ICW juga meminta tren untuk mengurangi hukuman di tingkat PK tersebut mesti menjadi perhatian khusus Ketua MA. Karena, berdasarkan data ICW, sejak Maret 2019 sampai dengan saat ini setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK.
"Jika ini terus menerus berlanjut maka publik tidak lagi percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi," kata dia.
ICW pun juga meminta kepada MA agar menolak 20 permohonan PK yang sedang diajukan oleh para terpidana kasus korupsi. "Sebab, bukan tidak mungkin PK ini hanya akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum," tutur Kurnia.
"Menyatakan pemohon PK terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a UU Tipikor," ujar Andi Samsan.
Atas hal itu, majelis hakim agung lantas menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun serta denda senilai Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Putusan itu diketok oleh ketua majelis Suhadi dengan anggota Eddy Army dan M Askin pada 25 Agustus 2020 lalu.
Perkara yang melibatkan Sri Wahyumi semula terungkap berdasarkan operasi tangkap tangan (OTT) pada April 2019. Dalam persidangan terungkap Sri Wahyumi menerima suap bersama Benhur dari pengusaha Bernard Hanafi Kalalo.
Dari situ, sejumlah aliran suap yang diterima Sri Wahyumi, beberapa di antaranya diberikan melalui Benhur. Mulai dari tas tangan merek Balenciaga yang dibeli di Jakarta oleh Bernard, lalu dilaporkan ke Benhur yang kemudian disampaikan ke Sri Wahyumi, hingga jam tangan Rolex yang juga dipesan oleh Benhur atas persetujuan Bernard untuk Sri Wahyumi.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian menjatuhkan hukuman 4,5 tahun pada 9 Desember 2019. Semula, Sri Wahyumi menerima vonisnya. Namun, belakangan diketahui dirinya mengajukan PK yang lantas dikabulkan MA. (riz/gw/fin)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com