JAKARTA - Eks Direktur Polisi Udara (Dirpolud) Mabes Polri Irjen (Purn) Deddy Fauzin El Hakim mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Deddy rencananya diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penjualan dan pemasaran pada PT Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2007-2017.
Jenderal bintang dua itu sedianya diperiksa sebagai saksi. Pemeriksaan Deddy direncanakan guna merampungkan berkas penyidikan tersangka sekaligus mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso.
"Saksi tidak hadir Irjen (Purn) Deddy Fauzin El Hakim. Belum diperoleh konfirmasi dari yang bersangkutan," ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulis, Senin (31/8).
Selain Deddy, tim penyidik hari ini turut menjadwalkan pemeriksaan terhadap staf keuangan PT Dirgantara Indonesia Sonny Ibrahim. Sonny diketahui telah memenuhi panggilan KPK dan diperiksa untuk tersangka Budi Santoso.
"Penyidik mengkonfirmasi pengetahuan saksi (Sonny Ibrahim) terkait proses penyusunan anggaran untuk mitra penjualan di PT Dirgantara Indonesia," kata Ali.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Susanto dan mantan Asisten Direktur Bidang Bisnis Pemerintah PT Dirgantara Indonesia Irzal Rinaldi Zailani.
Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, pada awal 2008, tersangka Budi Santoso dan Irzal bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh selaku Direktur Aerostructure, dan Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan, mengadakan pertemuan. Mereka membahas kebutuhan dana PT Dirgantara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya, termasuk biaya entertainment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
"Selanjutnya tersangka Budi Santoso mengarahkan agar tetap membuat kontrak kerja sama mitra/keagenan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut. Namun sebelum dilaksanakan, tersangka Budi Santoso meminta agar melaporkan terlebih dahulu rencana tersebut kepada pemegang saham yaitu Kementerian BUMN," beber Firli.
Firli menyebut Budi memerintahkan Irzal dan Arie Wibowo menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra/keagenan. Kemudian Irzal menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra/agen.
Sejak Juni 2008 sampai 2018, dibuat kontrak kemitraan/agen antara PT Dirgantara Indonesia yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
"Atas kontrak kerjasama mitra/agen tersebut, seluruh mitra/agen tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerjasama," jelas Firli.
Lalu pada 2011, PT Dirgantara Indonesia baru mulai membayar nilai kontrak tersebut kepada perusahaan mitra/agen, setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan. Selama 2011 hingga 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan PT Dirgantara Indonesia kepada enam perusahaan tersebut sekitar Rp205,3 miliar dan USD8,65 juta.
"Perbuatan para tersangka diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara, dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia sekitar Rp205,3 miliar dan USD8,65 juta kalau disetarakan dengan kurs Rp14.500 nilainya Rp125 miliar, sehingga total Rp330 miliar," kata Firli.
Budi dan Irzal disangkakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (riz/gw/fin)