News . 01/09/2020, 09:44 WIB

Bencana Turun, Anggaran Mengucur

Penulis : Admin
Editor : Admin

JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data yang menunjukan angka kejadian bencana turun hingga 27 persen dibandingkan tahun 2019. Angka-angka yang disajikan memang tidak sepadan dengan kondisi ekonomi bangsa yang dihantam pandemi Virus Corona (Covid-19) hingga menguras APBN. Sampai-sampai Menteri Kuangan Sri Mulyani berharap ketergantungan Indonesia terhadap vaksi begitu tinggi sebagai upaya pemulihan ekonomi.

Ya, dari data yang ada, sepanjang 2020 tercatat 1.928 kejadian bencana alam sepanjang 1 Januari hingga 30 Agustus 2020 dan bencana yang terjadi dalam kurun itu kebanyakan bencana hidrometeorologi.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana BNPB Raditya Djati dalam konferensi pers secara virtual bersama lembaga pemerintahan lainnya dari Jakarta, memerinci selama masa itu terjadi 12 bencana gempa bumi, lima erupsi gunung api, 726 banjir, 367 tanah longsor, 521 puting beliung, 24 gelombang pasang dan abrasi, serta bencana non-alam berupa pandemi Covid-19.

BACA JUGA:  Fahri Hamzah: Buzzer Itu Punya Dosa Bikini Rakyat Berantem Sama Presiden

Bencana alam yang terjadi selama periode tersebut, menurut dia, telah menyebabkan 266 orang meninggal, 24 orang hilang, 3.843.095 orang menderita dan mengungsi, serta 421 orang terluka (selengkapnya lihat grafis).

Selain bencana alam, dan wabah Virus Corona, Indonesia juga dapat terimbas dari perubahan iklim dunia. Hanya saja di situasi yang kian sulit, negara berpotensi mendapatkan suplai sekitar 103,78 juta dolar AS atau sekitar Rp1,53 triliun dari Green Climate Fund (GCF). Dana segar ini sebagai upaya untuk keberhasilan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan plus (REDD+).

”Saat ini kami masih bekerja untuk berinteraksi lagi dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan BioCarbon Fund. harapannya ada reward dan pengakuan lagi ke Indonesia, kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam konferensi pers daring bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani.

BACA JUGA:  KemenKopUKM Apresiasi Peluncurkan Koperasi Digital Pertama di Indonesia oleh KSP Nasari

Dari REDD+ yang merupakan salah satu program pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) pada sektor kehutanan yang telah ditetapkan sebagai salah satu sektor yang harus berkontribusi pada target penurunan emisi GRK nasional, sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia baru saja memperoleh lebih dari 103 juta dolar AS pembayaran berdasarkan hasil (result base payment) dari GCF untuk penurunan emisi tahun 2017.

Sebelumnya, untuk keberhasilan yang sama dari program REDD+, Indonesia juga memperolah 56 juta dolar AS atau sekitar Rp823,76 miliar setara dengan 11,2 juta ton CO2 equivalent (tCO2eq) dari total 800 juta dolar AS atau sekitar Rp11,7 triliun didasarkan Letter of Intent (LoI) dengan Norwegia untuk periode kerja sama 2020-2030.

Indonesia masih memiliki potensi untuk memperoleh sekitar 110 juta dolar AS dari Bank Dunia melalui FCPF untuk periode pendanaan 2021, 2023 dan 2025 dari program penurunan emisi dan pencegahan kerusakan hutan di Kalimantan Tengah. Selain itu, ada pula potensi dana lebih dari 60 juta dolar AS dari BioCarbon Fund untuk periode 2023-2025 dari program REDD+ di Jambi.

BACA JUGA:  Tengku Zulkarnain: Di Negara Mayoritas Muslim Tidak Pernah Ada Pembakaran Injil

Berdasarkan data KLHK di 2018, capaian penurunan emisi GRK Indonesia hingga 2017 mencapai 24,7 persen. Tingkat emisi business as usual (BaU) di 2017 mencapai 1.800 MtonCO2eq, sementara tingkat emisi aktual di tahun yang sama mencapai 861 MtonCo2eq.

Siti mengatakan sudah ada arahan dari Presiden Joko Widodo, agar dana-dana yang diperoleh dari REDD+ tersebut digunakan kembali untuk pemulihan lingkungan, termasuk merehabilitasi hutan dan lahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kementerian/lembaga lainnya untuk tujuan penurunan emisi GRK.

Dana tersebut akan dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di bawah Kementerian Keuangan, sebagai modal menurunkan emisi GRK sesuatu target NDC Indonesia, yakni 29 persen di 2030 jika dilakukan dengan upaya sendiri atau 41 persen jika mendapat bantuan internasional.

BACA JUGA:  Saling Sindir, Rocky Gerung Bilang Guru Besar Henry Subiakto Bukan Profesor Tapi Kompresor

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan seluruh dana tersebut akan dikelola BPDLH yang merupakan Badan Layanan Umum (BLU) yang dikelola Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang kemudian badan tersebut akan mendanai berbagai aktivitas untuk pengelolaan lingkungan hidup. Itu merupakan dana hasil dukungan internasional yang bisa digunakan untuk mendanai aktivitas-aktivitas penurunan emisi GRK.

Menurut dia, apa yang diperoleh Indonesia dari GCF lebih tinggi dari yang diperoleh Brasil. Pemilik hutan Amazon tersebut pada 19 Agustus lalu mendapat 96,452 juta dolar AS dari hasil penerapan REDD+. Beberapa negara lain yang juga memperoleh pendanaan pengendalian perubahan iklim yakni Chile yang mendapat 63,607 juta dolar AS, Ekuador mendapat 18,57 juta dolar AS dan Paraguay mendapat 50 juta dolar AS dari GCF untuk keberhasilan menerapkan REDD+.

”Indonesia membutuhkan dana sangat besar untuk memenuhi target NDC, untuk itu Kementerian Keuangan sudah mengembangkan mekanisme penandaan anggaran belanja kementerian untuk aktivitas terkait perubahan iklim (climate budget tagging),” jelasnya.

Jika dilihat semenjak Indonesia melakukan climate budget tagging dari 2016-2020, alokasi anggaran untuk perubahan iklim mencapai Rp89,6 triliun per tahun. ”Sampai 2020, Indonesia mendanai 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan perubahan iklim yang mencapai Rp3.461 triliun atau rata-rata Rp266,2 triliun per tahun,” ungkapnya. (fin/ful)

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com