JAKARTA - Penetapan ganja atau cannabis sativa oleh Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai tanaman obat menuai protes. Penetapan tanaman obat harusnya menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Pakah hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengatakan Kementan tak mempunyai kewenangan dalam menetapkan ganja sebagai tanaman obat. Sebab kewenangan penetapan tanaman obat adalah ranah Kemenkes.
"Penetapan tersebut sangat berlawanan dengan banyak peraturan hukum di Indonesia. Terlebih keputusan tersebut dikeluarkan tanpa riset mendalam dan komprehensif," tegasnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/8).
Mudzakir pun mempertanyakan kebijakan yang sempat tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian itu.
BACA JUGA: Din Syamsuddin: Rocky Gerung Itu S1, Tapi Pemikirannya Seperti Profesor
"Urus saja pangan nasional agar terpenuhi atau mungkin bisa ekspor produk-produk (pangan) lain yang tidak dilarang," katanya.Ditambahkan pengamat kebijakan publik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syafuan Rozi Soebhan, terkait permasalahan ganja sebagai pengobatan di Indonesia masih terus diperdebatkan. Sebab belum ada pengaturan dan pengawasan yang jelas.
Namun, secara peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, konsumsi tanaman ganja merupakan hal yang dilarang. Apalagi dibudidayakan.
"Polri adalah penegak hukum yang hanya berpegang pada undang-undang. Jika memang mau dilegalkan sebagai obat, harus amandemen Undang-Undang yang ranahnya politik," ujarnya.
BACA JUGA: Natalius Pigai: Pak Jokowi Sejak Anda Jadi Presiden Kami Selalu Dibantai, Salah Orang Papua Apa?
Jika kasus ini diangkat menjadi debat publik, Kementan harus memiliki dasar riset dan alasan yang jelas.Menanggapi ganja sebagai tanaman obat, Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono menegaskan bahwa ganja hanya diperuntukkan untuk penelitian maupun kajian ilmu pengetahuan.
"Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan ganja masuk dalam golongan 1 tanaman narkotika," ujarnya.
Dia pun menyayangkan tidak adanya diskusi dengan Kementan terkait persoalan ini. Padahal BNN merupakan pemangku kepentingan terkait pencegahan, pemberantasan, peredaran dan penyalahgunaan narkotika, termasuk ganja.
"Peraturan Menteri tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Ini menjadi pekerjaan bagi Kementerian Pertanian," katanya.
BACA JUGA: MenkopUKM: UMKM Digital Produktif Kunci Pemulihan Ekonomi
Sementara itu, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan Tommy Nugraha mengatakan bahwa Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No 104 Tahun 2020, yang di dalamnya menetapkan ganja sebagai tanaman obat komoditas binaan Kementan telah dicabut."Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo konsisten dan berkomitmen mendukung pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Kepmentan 104/2020 tersebut dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan stakeholder terkait (BNN, Kemenkes, dan LIPI)," katanya.
Kepmentan Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian, yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 3 Februari 2020 menyebutkan ganja masuk dalam daftar komoditas tanaman obat, di bawah binaan Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan.
BACA JUGA: Sandi Uno Terkesima dengan Teknologi Smart Farming yang Dikembangkan IPB
Sebelumnya Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto menjelaskan jika ingin membudidayakan ganja sebagai tanaman obat harus dalam pengawasan ketat dan mendapat izin.Dijelaskannya, budidaya jenis tanaman hortikultura, termasuk di dalamnya tanaman obat, telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.
"Menurut UU 13 Tentang Hortikultura, itu pun diperbolehkan, namun melalui satu pengawasan yang ketat dan harus ada izin-izin yang tidak boleh dilanggar," katanya.