BULUKUMBA - Arrahman tak bisa lagi menahan rindu bertemu keluarganya. Sudah lima hari ia tertahan di Pelabuhan Bira. Terhalang cuaca.
Lelaki berambut belah samping itu hendak ke kampung halamannya di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Beberapa pekan lalu ia berkunjung ke rumah temannya di Bulukumba.
Namun saat hendak pulang, kapal yang ditumpangi dilarang berlayar. Gelombang laut masih di atas dua meter. Berbahaya untuk pelayaran kapal feri.
"Sudah lima hari saya di sini. Tidak ada feri menyeberang ke Labuan Bajo," ujarnya seperti dikutip dari Harian Fajar (Fajar Indonesia Network Grup), Rabu, 8 Juli.
Rute kapal memang tak langsung ke Sumbaya, tetapi transit dulu di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perjalanan pria yang akrab disapa Man itu masih panjang. Setelah di Labuan Bajo, transit lagi di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima.
Setelah itu lalu ke Sumbawa. Makanya dia sudah tak tahan menahan rindu bertemu anak dan istrinya.
"Kata petugas sudah ada feri yang mau berangkat hari ini (kemarin,red), tapi sedang dikerja, ramp doornya patah tadi malam," katanya.
Selama berada di Pelabuhan Bira, dia terpaksa mengeluarkan biaya tak sedikit. Itu untuk kebutuhan makan maupun keperluan Mandi Cuci Kakus (MCK). "Semoga secepatnya bisa berangkat," harapnya.
Puluhan truk dengan muatan logistik juga mengantre di dermaga. Mereka menunggu KMP Karmomolin untuk diangkut ke Pelabuhan Pamatata Selayar.
Kepala Unit Penyelenggara Teknis (UPT) Pelabuhan Bira,
Syamsuddin mengemukakan, pihaknya belum bisa memastikan kapan jadwal penyeberangan dibuka. "Belum ada kepastian ke Labuan Bajo," jelasnya.
Untuk penyeberangan Bira ke Pelabuhan Pamatata Selayar berlaku sistem dibuka tutup. Jika cuaca bersahabat, pelayaran dibuka.
Dua hari sebelumnya ditutup total. Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan bahaya untuk pelayaran. "Kita utamakan keselamatan penumpang, apalagi kejadian tiga tahun lalu feri tenggelam di awal Juli," bebernya. (sir/dir)