JAKARTA - Entah apalagi alasan DPR RI menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Padahal secara periodik, kasus ini terus meningkat. Hingga awal Januari saja, angkanya menembus 501 korban yang secara jelas minta keadilan dan perlindungan.
Merujuk dari data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) selama 2016, LPSK menerima 66 permohonan dari kasus kekerasan seksual, kemudian naik menjadi 111 permohonan pada tahun 2017, melonjak ke angka 284 pada tahun 2018, terus naik pada tahun 2019 menyentuh angka 373.
”Hingga 15 Juni 2020, kata dia, jumlah terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual sebanyak 501 korban,” terang Wakil Ketua LPSK Livia Istania Iskandar dalam keterangannya, Jumat (3/7).
Dari angka tersebut permohonan perlindungan maupun jumlah terlindung LPSK itu, menurut dia, belum dapat menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya.
Ia meyakini angka kekerasan seksual sebenarnya lebih besar sebab tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah pidana.
”Jumlah terlindung LPSK belum menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban mensyaratkan permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban,” papar Livia.
Ia berharap kehadiran RUU PKS mampu membantu dan mempermudah penegak hukum menjerat pelaku kekerasan seksual, apalagi jenis dan modus kekerasan seksual makin beragam.
Nah, pada kasus kekerasan seksual, kata Livia, banyak kasus yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan karena alat bukti dan rumusan norma pasal kurang. KUHP, menurut dia, tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini sehingga berimplikasi pada cara pandang penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum.
”Misalnya, pemahaman bahwa pemerkosaan itu dimaknakan sebatas adanya penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin perempuan, padahal definisi pemerkosaan telah berkembang dalam berbagai literatur, aturan, dan praktik hukum di internasional maupun di negara lainnya,” jelas Livia.
Begitu pentingnya penting pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) seiring dengan meningkatnya grafik permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual kepada LPSK. ”Kami menyesalkan keputusan dikeluarkannya RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) NasDem di Komisi VIII DPR RI Lisda Hendrajoni meyakinkan jika Fraksi NasDem DPR berkomitmen untuk mendesak RUU PKS tetap masuk dalam Prolegnas prioritas 2020. ”Berdasarkan data Komnas Perempuan dari 2015-2019, jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat. Puncaknya di 2019 mencapai 431.471 kasus, bahkan laporan secara langsung ke Komnas Perempuan mencapai 1.419 laporan. Artinya ini sudah menjadi sesuatu yang mendesak. Sampai kapan kita harus menunggu,” ujar Lisda dalam pernyataan tertulis yang diterima.
Bahkan data terparah, menurut Lisda, terjadi pada 2001 hingga 2011 yang mencatat kekerasan seksual terjadi sebanyak 35 kasus setiap harinya. ”Jadi sebenarnya tidak ada alasan RUU PKS sulit untuk disahkan, karena data sudah terpampang dengan sangat jelas betapa pelaku kejahatan seksual leluasa di Indonesia. Satu-satunya cara untuk menghapusnya adalah penerapan UU PKS,” paparnya.
Karena itu, Fraksi NasDem di Komisi VIII ingin menjadikan RUU PKS sebagai Undang-Undang yang dapat melindungi kaum perempuan dan anak, dari para pelaku kekerasan seksual yang semakin menjadi saat ini.
Lisda menambahkan bahwa Fraksi NasDem DPR RI tetap optimistis untuk melanjutkan RUU PKS menjadi Undang-Undang. ”Saya pastikan itu dari pribadi yang bersangkutan. Kami, khususnya Fraksi NasDem di Komisi VIII DPR, masih optimistis dengan pengesahan RUU tersebut, dan akan terus mengupayakan,” kata Linda. (fin/ful)