JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah kepada para menterinya. Kepala negara mengancam bakal membubarkan lembaga dan mengganti (reshuffle) menteri yang dianggap gagal. Kementerian/lembaga dinilai masih bekerja normal dalam situasi krisis akibat pandemi COVID-19. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial menjadi sorotan.
Kemarahan Jokowi tersebut dikemukakan dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara pada Kamis (18/6). Pernyatan tersebut diunggah melalui sebuah video yang dipublikasikan oleh Sekretariat Kepresidenan, Minggu (28/6) malam.
Saat menyampaikan arahannya, Jokowi terlihat sangat jengkel. Sebab, masih ada sejumlah menteri yang bekerja secara biasa-biasa saja dalam situasi seperti saat ini. Padahal, Jokowi menginginkan para menteri bekerja extraordinary. "Saya lihat, masih banyak yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ. Ini apa nggak punya perasaan? Suasana ini krisis," ucap Jokowi seperti dikutip dari unggahan Sekretariat Kepresidenan, Senin (29/6).
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu geram karena jajarannya tidak sigap dalam menghadapi situasi krisis. Bahkan, Jokowi blak-blakan menyebut kinerja para pembantunya tidak ada kemajuan yang signifikan. "Jangan biasa-biasa saja. Jangan linear. Jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali," katanya dengan nada tinggi.
Jokowi bahkan menyinggung langsung kinerja sejumlah kementerian terkait berbagai kebijakan untuk menangani COVID-19. Mulai dari kebijakan bansos, pemberian insentif, hingga kinerja Kementerian Kesehatan akibat penggunaan anggaran yang tak maksimal.
Dari anggaran Rp75 triliun, kementerian kesehatan hanya menggunakan 1,53 persen. Mantan Walikota Solo ini memerintahkan Menkes Terawan Agus Putranto agar anggaran kesehatan segera dikeluarkan dengan penggunaan tepat sasaran.Sseperti membayar tunjangan dokter, dokter spesialis, dan tenaga medis lainnya.
"Tindakan-tindakan kita, keputusan kita, kebijakan kita, suasananya harus suasana krisis. Jangan kebijakan yang biasa-biasa saja menganggap ini sebuah kenormalan. Apa-apaan ini. Hanya gara-gara urusan peraturan, urusan peraturan. Ini harus extraordinary. Saya harus ngomong apa adanya. Nggak ada progres yang signifikan, nggak ada," tegasnya.
Sejurus kemudian, Jokowi melontarkan ancaman reshuffle kepada menteri yang dianggap masih bekerja begitu-begitu saja dalam situasi krisis. "Langkah extraordinary ini betul-betul harus kita lakukan. Saya membuka yang namanya langkah politik, langkah pemerintah, akan saya buka. Bisa saja, membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle. Saya sudah kepikiran ke mana-mana ini. Entah buat Perppu yang lebih penting lagi, kalau memang diperlukan," paparnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengungkapkan latar belakang dan alasan Jokowi menegur keras jajaran kabinetnya dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 18 Juni 2020.
"Presiden memberikan gambaran dan mengajak semua pembantunya, menteri dan kepala lembaga memahami sungguh-sungguh. Karena kita sedang mengalami situasi krisis," ujar di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/6).
Karena itu, kata Moeldoko, Presiden Jokowi menginginkan cara-cara extraordinary dalam penanganannya. "Jadi Presiden menekankan bagaimana menangani situasi kritis itu harus secara extraordinary. Bukan yang biasa-biasa," papar mantan panglima TNI ini.
Jokowi, menghendaki ada strategi khusus dalam menangani krisis. "Dalam menangani krisis itu kehadiran panglima atau komandan sangat penting. Presiden hadir secara fisik. Presiden menekankan untuk menghadapi situasi krisis seperti ini, kehadiran pimpinan lembaga wajib dan mutlak hukumnya. Agar bisa mengeksekusi kebijakan dengan cepat tepat dan akuntabilitas," terangnya.
Menurutnya, jika seorang pemimpin tidak melakukan hal itu, bahkan ada kecenderungan lambat dan ada aturan yang menghambat tidak dibenahi, maka Presiden siap mengambil langkah yang lebih tegas. "Presiden menekankan kita jangan bekerja hanya terhambat oleh sebuah aturan. Akhirnya terbelenggu. Ini tidak boleh terjadi, cari solusinya untuk rakyat," ucap Moeldoko.
Dia menjelaskan sebenarnya sudah beberapa kali Jokowi memperingatkan para menteri dan pimpinan lembaga negara bekerja ekstra keras agar mampu mengatasi krisis ini. Namun, belum ada hasil yang signifikan dari kinerja para menteri dan pimpinan lembaga. Sehingga Jokowi pada sidang kabinet paripurna 18 Juni 2020 lalu, memberikan peringatan yang lebih keras. "Presiden khawatir para pembantu ada yang merasa saat ini situasi normal. Untuk itu diingatkan. Ini peringatan yang kesekian kali. Bukan yang pertama.
Karena masih ada beberapa di lapangan yang tidak sesuai dengan harapan beliau," urainya.