BANTAENG - Banjir bandang di Bantaeng beberapa waktu lalu cukup mengagetkan. Banjir besar juga pernah terjadi 12 tahun lalu.
Namun perlahan bisa diatasi setelah adanya Cekdam Balangsikuyu. Namun saat ini mulau tertutup sedimen. Pemicunya, wilayah pegunungan mulai gundul. Terjadi alihfungsi lahan secara besar-besaran. Lahan hutan diganti tanaman jangka pendek. Akibatnya, tanah kian terkikis hingga menimbulkan sedimen ke aliran sungai.
Dosen Fakultas Kehutanan Unhas, Putri Nurdin, mengemukakan, penghijauan di wilayah pegunungan Bantaeng mendesak. Sebagian besar lahan sudah kritis. Itu berdasarkan hasil investigasi tim dari Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas).
"Dari pengamatan visual melalui drone, sejumlah longsoran tanah di hulu kian parah," tuturnya seperti dikutip dari Harian Fajar (Fajar Indonesia Network Grup), Minggu, 28 Juni.
Longsoran tersebut membuat bendungan alami. Akibatnya, aliran air yang mengarah ke cekdam tertahan. Saat material longsor itu jebol, debit air yang besar mengalir menuju dam. Itu diikuti potongan kayu hasil pembalakan.
"Akibatnya dam jebol dan banjir bandang terjadi secara mendadak dengan kekuatan yang berlipat kali lebih besar," tambahnya.
Dari hasil investigasi lapangan mayoritas penyebab longsor di Sulawesi Selatan disebabkan alih fungsi lahan dan curah hujan tinggi. Alih fungsi lahan dari yang awalnya hutan dikonversi menjadi lahan pertanian dengan tanaman jangka pendek atau menjadi lokasi pemukiman.
Hal ini membutuhkan perhatian besar dari pemerintah untuk kembali mengevaluasi lokasi-lokasi rawan bencana agar bisa segera mengambil tindakan antisipasi.
Cekdam Balang Sikuyu yang dibangun pada 2009 bekerja sebagai pengontrol debit air. Mencegah banjir saat musim hujan dan mengalirkan air saat kemarau. Cekdam yang dibangun tentu membutuhkan perawatan seperti pengerukan sedimen dan perawatan secara reguler. "Tujuannya agar service time dari cekdam bisa optimal," sebutnya.
Kemudian di sisi lain, tentu diperlukan evaluasi terhadap pilihan vegetasi yang ditanam masyarakat di daerah hulu. Tentu hal ini membutuhkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai jenis vegetasi yang cocok.
Tanaman jangka pendek jika ditanam di lereng sangat rentan memicu longsor. Tentu tingkat erosi akan tinggi sehingga dampaknya akan mempengaruhi tingkat kekeruhan air di cekdam.
"Tidak ada kata terlambat untuk membangun kesadaran masyarakat," usulnya.
Kata Putri, kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dari Jepang jika dilihat dari sisi kerentanan terhadap bencana. Namun Jepang mampu hidup berdampingan dengan bencana, dengan cara menghargai alam. "Saya sebagai bagian dari masyarakat Bantaeng sangat berharap Bantaeng menjadi Kabupaten yang bisa meminimalisir dampak bencana," kuncinya. (dir)