News . 15/04/2020, 11:15 WIB
JAKARTA - Sebelum munculnya Permenkumham Nomor 10 tahun 2020, sedikitnya 40.329 warga binaan atau narapidana (napi) akan dibebaskan dengan program asimilasi dan integrasi. Sehingga pembebasan 35 ribu napi terkait wabah COVID-19 tak perlu dibuat heboh.
Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Direktorat Jenderal Permasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Yunaedi menjelaskan pihaknya memang akan membebaskan 40 ribu lebih warga binaan. Pembebasan tersebut sesuai dengan peraturan dan prosedur pemberian asimilasi dan hak integrasi.
Dikatakannya, berdasarkan pemetaan sedikitnya 40.329 warga binaan memang sudah seharusnya dikeluarkan dari rutan dan lapas.
"Secara normatif tanpa adanya Permenkumham 10 ini sebenarnya memang 40 ribu narapidana sudah harus keluar secara bertahap, termasuk yang 36 ribu ini. Mengapa ini menjadi heboh? Karena ini dikeluarkan bersama-sama," ungkap Yunaedi, Selasa (14/4).
Sayangnya program asimilasi tersebut tak dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian napi. Ditjen PAS mencatat sedikitnya 12 dari sekitar 36 ribu napi asimilasi kembali melakukan tindak pidana.
Pelaksana Tugas Dirjen PAS Nugroho menegaskan, pihaknya bakal mengenakan sanksi berat terhadap ke-12 warga binaan tersebut. Hal ini, kata dia, sesuai dengan instruksi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly.
"Sampai dengan saat ini, 12 napi yang berulah dari sekitar 36 ribuan yang sudah dikeluarkan," ujar Nugroho dalam diskusi virtual.
Nugroho mengatakan, muncul berbagai informasi menyangkut terjadinya tindakan kriminal pasca keputusan pembebasan warga binaan terkait COVID-19 dikeluarkan pada 30 Maret 2020 lalu. Menurutnya, Ditjen PAS Kemenkumham menaruh perhatian besar akan hal itu.
Kendati demikian, ia menyebut, pemahaman menyangkut kondisi di dalam rutan dan lapas yang sangat rawan menjadi lokasi penyebaran serta penularan penyakit masih minim. Menurutnya, pembebasan narapidana menjadi pilihan terakhir yang harus dipahami oleh berbagai pihak untuk meminimalisir terjadinya penyebaran virus dan penyakit di rutan dan lapas.
"Kondisi yang dihadapi warga binaan seperti kelebihan penghuni, sanitasi yang kurang memadai, memunculkan rekomendasi terbaik bagi mereka untuk dirumahkan sehingga mengurangi risiko penularan yang besar," kata Nugroho.
Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu menilai, Kemenkumham perlu melakukan sosialisasi dan edukasi secara menyeluruh kepada masyarakat terkait pembebasan warga binaan. Agar, menurut dia, meminimalisir penolakan terhadap warga binaan yang telah dibebaskan.
"Masyarakat juga perlu diberi bekal agar tidak terjadi penolakan terhadap warga binaan yang bebas," jelas Ninik.
Sementara itu, Kriminolog Leopold Sudaryono menyampaikan, sejatinya fenomena residivis merupakan hal yang lumrah terjadi di dunia. Leopold memaparkan, berdasarkan data, angka kejahatan residivis menyentuh 0,05 persen, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.
"Kalau bicara ancaman di masyarakat, angka ini kecil sekali. Kecenderungan untuk mengulangi kesalahan (residivis) itu tinggi dan kondisinya di Indonesia masih sesuai dengan kondisi global," tutur Leopold.
Sedangkan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, persoalan di rutan dan lapas sebenarnya tidak sederhana. Menurutnya, terjadi permasalahan sistemik pada perundang-undangan dan hukum di Indonesia. Ia menuturkan, saat ini merupakan momentum yang baik untuk mendorong perubahan sistem penegakan hukum Indonesia.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com