JAKARTA - Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid V (2019-2023) jauh dari kata mengesankan. Selama 100 pertama, KPK di bawah kepimpinan Komjen Pol Firli Bahuri cs dinilai lebih banyak menuai kontroversi ketimbang prestasi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, Pimpinan KPK Jilid V sejauh ini justru menghasilkan berbagai kontroversi alih-alih menunjukkan kinerja yang lebih baik dari pimpinan periode sebelumnya. Akibatnya, menurut dia, kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah menurun drastis.
"Riset Indo Barometer dan Alvara Institute pada awal tahun 2020 menggambarkan hal itu. Dua riset itu sekaligus mengkonfirmasi pesimisme masyarakat luas atas proses seleksi pimpinan KPK yang dianggap tidak kredibel, ceroboh, dan tidak mengindahkan berbagai rekam jejak yang ada," ujar Kurnia dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu (25/3).
Kurnia mengungkapkan, ICW sedikitnya mencatat tujuh kontroversi yang timbul. Pertama, KPK gagal menangkap dua buronan yang ditetapkan sejak awal 2020, mantan Caleg PDI Perjuangan Harun Masiku dan eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Padahal, menurut Kurnia, KPK selama ini dikenal cepat dalam menangkap pelaku korupsi yang melarikan diri. "Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia," kata Kurnia.
Kedua, Komisioner KPK tidak memberikan informasi yang transparan terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron.
"Sampai saat ini tidak ada satupun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut. Bahkan saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK," ucap Kurnia.
Ketiga, Komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika Penyidik KPK, Kompol Rossa Purbo Bekti, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas.
"Padahal yang bersangkutan sedang menangani perkara dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku. Tak hanya itu, masa tugas Kompol Rossa pun baru berakhir pada September mendatang dan ia juga tidak pernah dijatuhi sanksi apapun di KPK," tutur Kurnia.
Keempat, Komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari sang buronan. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku.
Kurnia mengakui, persidangan in absentia secara yuridis dimungkinkan untuk dilakukan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor. Namun, jika ditilik dari bagian penjelasan undang-undang, niat Komisioner KPK untuk menggelar persidangan itu keliru.
"Sebab, metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap," tandas Kurnia.
Kelima, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Data KPK menyebutkan sejak tahun 2016 hingga 2019, lembaga antirasuah telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka sebanyak 327 orang. Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo.
"Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs," tukas Kurnia.
Keenam, Komisioner KPK terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga di antaranya kunjungan ke DPR RI.