JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kembali menegaskan pemerintah tetap akan menampung aspirasi dari Papua selama aspirasi tersebut masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu diungkapkannya menanggapi RUU Otsus Papua yang ditanyakan sejumlah wartawan usai menghadiri rapat di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (5/2).
”Kami sudah mengajukan ke Komisi II (DPR RI) untuk masuk dalam Prolegnas 2020 (RUU Otsus Papua), seperti apa di tahun 2021 nanti? Ya kita menggunakan mekanisme bottom up dan top down, bottom-up kita mendengar aspirasi dari warga Papua, seperti apa bentuknya, kalau dari Pusat jelas yang utama tetap apa pun aspirasi kita tampung selama dalam kernagka NKRI,” kata Mendagri.
Di samping itu, diungkapkan Mendagri, berbagai bentuk aspirasi akan ditampung Pemerintah salama aspirasi tersebut memiliki muatan untuk percepatan pembangunan Papua. ”Tapi apa pun idenya untuk mempercepat pembangunan Papua, tentunya kita pasti akan tampung aspirasinya,” imbuhnya.
Meski demikian, usulan RUU Otsus Papua yang telah digulirkan di DPR RI masih dalam tahap pengkajian, terutama mengenai mekanisme dan teknis lebih lanjutnya. Namun RUU tersebut telah dipastikan untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020 mengingat UU Otsus Papua yang akan segera berakhir setelah berlaku 20 tahun.
”Kalau memang UU Otsus Papua isinya misalnya ada pemberian otonomi masalah ekonomi, perizinan, royalti, bagi hasil yang lebih besar, aspirasi itu bisa, silahkan, tapi (apakah) dana otsus tetap diteruskan? Kalau memang Pemerintah Pusat memiliki ruang fiskal yang mencukupi untuk itu, kenapa tidak,” tandasnya.
Tapi kalau seandainya tidak, sambung dia ada dua apa opsi lainnya. ”Itu masih pembahasannya bukan hanya di tingkat eksekutif, tapi juga pembahasan di tingkat lokal, tingkat eksekutif pusat, dan nanti akan di tingkat legislatif dan ini yang penting kita masukan dulu ke Prolegnas 2020 karena 2021 sudah selesai UU Otsus Papua yang tahun 2001-2021 (20 tahun),” jelas Mendagri.
Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua masuk prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Revisi aturan ini menjadi prioritas karena dana otsus bagi Papua dan Papua Barat yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) APBN akan berakhir pada tahun 2021. Tak hanya itu, dana Otsus juga menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk melihat sejauh mana program dan implementasinya bagi masyarakat setempat.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Papua sepanjang 2019 minus hingga 15,72%. Padahal, pembangunan infrastruktur di Papua terbilang cukup agresif dibanding daerah lain di Indonesia.
Dikutip dari laman resmi Setkab, sepanjang 2019 lalu, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengalokasikan anggaran dalam rangka otonomi khusus, bagi Provinsi Papua dan Papua Barat hingga Rp12,6 triliun. Anggaran itu dibagi untuk Provinsi Papua dan Papua Barat terdiri dari dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp8,34 triliun dan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otsus sebesar Rp4,26 triliun.
Secara rinci, dana otsus untuk Papua sebesar Rp5,85 triliun dan Papua Barat sebesar Rp2,51 trilun. Sedangkan dana tambahan infrastruktur untuk Papua sebesar Rp 2,82 triliun dan Papua Barat Rp1,44 triliun. Lalu, mengapa dana yang sudah digelontorkan sedemikian rupa itu tak memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Papua?
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan minusnya ekonomi terjadi lantaran belum semua proyek infrastruktur yang dibangun di Papua rampung. Lagi pula, untuk infrastruktur yang sudah terbangun tak serta merta hasilnya bisa dirasakan dalam sekejap mata.
Artinya, butuh bertahun-tahun lamanya untuk melihat dampak pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian suatu daerah."Infrastruktur kan ada waktunya juga, lagipula infrastruktur proyeknya belum selesai semua," ujar Airlangga, Rabu (5/2).
Airlangga pun tak memungkiri bahwa minusnya pertumbuhan ekonomi di Papua terjadi sebab sepanjang 2019 lalu produksi tambang di Freeport sedang mengalami penurunan signifikan. "Ya itu juga salah satunya (sebab penurunan ekonomi Papua)," imbuhnya.
Untuk diketahui, Freeport telah melaporkan penurunan produksi tembaga pada kuartal IV-2019 lalu dan memperkirakan pengeluaran lebih tinggi pada tahun tersebut karena transisi tambang tembaga raksasa Grasberg di Indonesia ke penambangan bawah tanah.
Produksi tembaga di Grasberg turun 14% pada kuartal IV-2019, sementara total produksi logam turun 1,7% menjadi 827 juta pon. Freeport-McMoran saat itu mengalokasikan US$ 500 juta untuk pengembangan smelter baru di Indonesia.